Netsains.Com – Menolak pengelompokan sains eksak dan non eksak, Roby Muhamad pasti punya alasan. Ya, sebab alumni Fisika ITB ini memang sejak awal tak terpikir akan membelot jadi ilmuwan sosial. Sejak kecil sudah terpatri bahwa ilmuwan itu identik dengan ilmu alam. Faktanya, ayah dari Toby ini kini tengah menyelesaikan disertasi bidang sosiologi di Columbia University.
Berikut adalah hasil interviu jarak jauh Netsains.Com dengan peneliti bidang jejaring sosial yang juga rajin menulis di berbagai media ini.
“Penelitian utama saya adalah mengenai jejaring sosial. Spesifiknya saya meneliti mengenai bagaimana orang bisa menggunakan jejaring sosial untuk menemukan sesuatu; misal pekerjaan, investor, jodoh. Saya juga tertarik meneliti bagaimana sesuatu menyebar di jejaring sosial; terutama dalam proses politik seperti mobilisasi untuk gerakan sosial, demonstrasi, atau kampanye politik. Saya juga sedang belajar landasan moral kapitalisme modern,” papar penggemar Dostoevsky ini mengenai kesibukannya terkini.
Menjadi ilmuwan memang sesuai dengan cita-cita sejak kecil, sebab Roby dibesarkan di keluarga akademisi, sehingga menekuni sains memang menjadi hal natural baginya.
Bagi Robi, yang utama dibutuhkan dalam mewujudkan cita-cita adalah keberanian untuk mengikuti rasa ingin tahu. “Saya sebut keberanian karena sering kali apa yang kita tertarik itu bukan hal populer diantara teman-teman kita, dan melawan pendapat populer perlu keberanian. kKita harus berani mengambil pilihan sendiri meskipun kita dilihat berbeda oleh orang-orang di sekitar kita,” tambahnya.
Jika dikatakan minat sains anak Indonesia kurang, ayah dari Toby ini tidak setuju.
Sekian tahun tinggal di Amerika, Roby justru melihat bahwa minat remaja Indonesia terhadap sains lebih besar dibanding minat anak-anak Amerika terhadap sains. Tetapi masalahnya adalah mereka yang berminat thd sains ini sulit menemukan “role model” ilmuwan. Meskipun ilmuwan di Indonesia terus bertambah secara kuantitas dan kualitas, tapi masih relatif sedikit. Sehingga sulit bagi mereka untuk menyalurkan minatnya ini secara serius karena kesulitan mendapatkan pembimbing yang baik. Jadinya meskipun mereka berminat tinggi pada sains, jika mereka kurang mengerti bagaimana sebetulnya sains dihasilkan dan ilmuwan bekerja, sulit bagi mereka untuk memilih sains sebagai mata pencaharian.
Hebat Bukan Segalanya
Menurutnya, semua orang di Indonesia setuju bahwa sains dan pendidikan adalah penting. Yang perlu dilakukan adalah menunjukkan bahwa hasil penelitian sains itu berguna dalam arti seluas-luasnya bagi kehidupan kita.
Fenomena yang terjadi saat ini adalah, anak muda di manapun punya kecenderungan serupa, yaitu cenderung tidak tertarik pada sains. Yang menjadi saintis memang hanya sedikit saja. Tapi bedanya di negara yang lebih maju, mereka yang sedikit ini mampu mengembangkan minatnya secara maksimal.
Indonesia sendiri sebenarnya punya SDM sangat hebat, dan pastinya banyak potensi-potensi tersembunyi yang belum digali dari manusia Indonesia. Tapi negara kita tetap miskin terus, politik dan ekonominya amburadul. Roby beranggapan bahwa itu adalah bukti bahwa oranghebat bukan segalanya. “Yang lebih penting adalah menciptakan sistem di mana setiap orang dapat berkontribusi dalam penyelesaian masalah di sekitarnya. Sehebat apapun seseorang, ia tetap kerdil jika dibandingkan dengan masalah yang dihadapi Indonesia,” jelas suami dari Tika Sukarna ini.
Roby juga setuju bahwa ilmuwan harus lebih peduli dan mau terlibat proses politik dan mau secara sungguh-sungguh melakukan pendekatan ke publik.
Lantas, kenapa Roby tidak setuju dengan adanya paradigma pemisahan sains antara eksak dan non eksak? Ia berpikir pemisahan itu adalah suatu kekeliruan. Ia beranggapan bahwa ains adalah metode untuk memecahkan masalah. Masalah yang dipecahkan bisa mengenai masalah gerak planet, dinamika protein, masalah kemiskinan, hingga masalah konflik etnis. Jika kita melihatnya seperti itu, maka kita bisa lihat bahwa sains apapun perlu didukung untuk membantuk menyelesaikan segala masalah yang kita hadapi.
Ilmuwan Harus Komunikatif
Nah, bagaimana agar Indonesia bisa mengejar ketertinggalannya di bidang sains dan teknologi?
“Saya pikir sangat perlu untuk para saintis mau berkomunikasi lebih banyak dengan publik, mau berbagi pengetahuannya dengan publik sehingga publik bisa mengerti relevansi pengetahuan tersebut dengan kehidupan sehari-hari. Jika publik bisa melihat dan merasakan langsung bahwa sains dan teknologi bisa membuat hidup lebih baik – bukan hanya sebagai ‘mainan’ segelintir saintis – maka baik sainsnya itu sendiri dan komunitas saintis juga akan semakin maju.,” ujar Roby.
Roby pastinya hanya satu di antara sekian banyak orang Indonesia yang menuntut ilmu ke luar negeri, atau bahkan bekerja dan menetap di negara lain. Selama ini banyak pandangan skeptis yang mengatakan bahwa orang Indonesia yang sudah menuntut ilmu ke negara lain, haruslah kembali ke Indonesia untuk mengabdikan ilmunya. Jika tidak, maka ia dicap kurang cinta pada Indonesia, bahkan disebut ‘penghianat’. Menyikapi hal ini, lelaki pemilik situs Berjejaring.Com ini tudak setuju. Menurutnya, menghakimi orang dengan cap “pengkhianat” secara umum tentunya tidak baik. Kondisi setiap orang berbeda-beda sehingga pilihan pulang atau tidak adalah keputusan pribadi masing-masing yang harus dihormati.
“Meskipun demikian, kita harus ingat bahwa mesin utama kemajuan sains dan teknologi adalah kebutuhan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi secara komprehensif. Hal ini bisa dicapai jika solusi sains dan teknologi muncul secara organik dari kebutuhan lokal. Jadinya komunitas saintis dan sains yang dihasilkan memiliki akar yang kuat di lingkungan masing-masing. Jadi meskipun para saintis asal Indonesia yang menetap di luar negeri masih bisa membantu membangun komunitas ilmiah ini, tetap perlu ada ilmuwan-ilmuwan yang kembali ke Indonesia dan membangun komunitas ilmuwan local,” ujar Roby menutup obrolan.
Foto: dokumen pribadi Roby Muhamad
Sumber: Netsains.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar