Selasa, 13 Desember 2011

Pesawat Fighter



Tiga Generasi Pesawat Fighter (foto: http://en.wikipedia.org)

Pesawat fighter adalah pesawat militer yang didesain terutama untuk pertempuran udara-ke-udara dengan pesawat lain, sebagai kebalikan dari bomber yang didesain terutama untuk menyerang target darat. Kelebihan fighter adalah kecepatan, manuverabilitas dan ukurannya yang relatif kecil dengan tipe pesawat kontemporer. 

Banyak fighter yang memiliki kemampuan sekunder sebagai penyerang-darat, dan beberapa memiliki peran-ganda sebagai fighter-bomber. Tidak jarang, pesawat yang tidak memenuhi standar definisi sebagai fighter tetapi dilabeli dan dimasukkan ke kategori fighter. Hal ini lebih bersifat politis maupun demi keamanan nasional, untuk tujuan dan alasan tertentu.

Fighter adalah sarana bagi Angkatan Bersenjata untuk memperoleh superioritas udara di atas musuh di suatu pertempuran. Sejak PD I, mendapatkan dan mempertahankan superioritas udara penting untuk mendapatkan kemenangan dalam peperangan konvensional. Sebagai alternatif, peperangan gerilya dapat dipakai untuk memperoleh kemenangan tanpa adanya superioritas udara tetapi hanya akan berhasil dengan pertaruhan nyawa yang jauh lebih banyak. Harga pembelian awal hanyalah bagian kecil dari total biaya yang diperlukan, sehingga mempertahankan fighter yang layak membutuhkan proporsi budget pertahanan yang substansial pada angkatan bersenjata modern





TERMINOLOGI


Kata “fighter” belum menjadi kata Inggris resmi untuk pesawat semacam ini hingga setelah PD I. Di Royal Flying Corps dan Royal Air Force Inggris Raya, pesawat semacam ini disebut sebagai "scout" hingga awal 1920an. AD AS menyebut fighter mereka dengan pesawat “pursuit” dari 1916 hingga akhir 1940an. “Chasseur” dari Perancis dan “jagdflugzeuge” dari Jerman adalah kata yang digunakan untuk fighter, dan berarti “pemburu” dan “pesawat pemburu” secara berurutan. Kata “pemburu” tersebut dipakai juga dalam sebagian besar bahasa lain kecuali bahasa Rusia yang menyebut fighter sebagai "истребитель" (dibaca "istrebitel"), yang berarti "exterminator".

Sebagai bagian dari tata nama militer, sebuah huruf biasanya digunakan pada berbagai tipe pesawat untuk menunjukkan kegunaanya, bersama dengan angka untuk mengindikasikan pesawat yang khusus. Hurufnya digunakan untuk menunjukkan pesawat fighter berbeda-beda di berbagai negara. Pada bahasa inggis, huruf “F” digunakan, sebagai contoh F-35 atau Spitfire F.22. DAS, ketika istilah pursuit masih digunakan, mereka menggunakan “P” seperti P-40. Rusia menggunakan huruf “I” (I-16) sementara Perancis menggunakan “C”, contoh untuk Nieuport 17 C.1.

Walaupun kata “fighter” digunakan bagi pesawat yang didesain untuk menembak jatuh pesawat lain, desain seperti ini juga berguna sebagai multi-peran seperti fighter-bomber, strike-fighter, dan pada fighter yang berukuran relatif kecil dapat digunakan dalam peran serang-darat. Sebagai contoh adalah pesawat Sopwith Camel dan pesawat "fighting scouts" lain di PD I melakukan peran serang-darat dengan sangat baik. Pada PD II, USAAF dan RAF lebih memilih fighter dari pada bomber ringan atau dive bombers, dan tipe seperti P-47 Thunderbolt dan Hawker Hurricane yang ternyata sudah tidak lagi kompetitif sebagai fighter dan akhirnya diturunkan perannya sebagai pesawat serang-darat. Sejumlah pesawat seperti F-111 dan F-117 tidak memiliki kemampuan sebagai fighter walaupun memakai huruf “F”, tetapi pemakaian huruf tersebut untuk alasan politis. F-111 awalnya akan digunakan untuk peran fighter bagi AL tetapi kemudian dibatalkan, sementara F-117 karena alasan keamanan negara. Pengaburan ini karena penggunaan fighter pada waktu sebelumnya untuk operasi “attack” dan “strike” terhadap pasukan, posisi, kendaraan dan fasilitas musuh dengan cara pemberondongan atau menjatuhkan bom kecil dan pembakar. Pesawat fighter-bomber mulitiperan serbaguna seperti F/A-18 Hornet merupakan pilihan lebih mudah jika dibandingkan dengan memiliki pesawat dengan terlalu banyak tipe dan variasi.

Beberapa pesawat fighter termahal seperti F-14 Tomcat, F-22 Raptor dan F-15 Eagle yang digunakan sebagai pesawat cegat semua-cuaca serta pesawat superioritas udara, pada akhir karirnya dikembangkan dengan peran udara-ke-darat (serang darat). Pesawat cegat didesain untuk menyerang (mencegat) bomber dan sering mengorbankan kecepatan atau manuverabilitasnya untuk meningkatkan laju pendakian.


Model Pesawat Fighter Biplane (foto: http://en.wikipedia.org)




PENGEMBANGAN 


Fighter dikembangkan selama PD I untuk untuk menangkal pesawat musuh dan untuk mendapatkan informasi dengan pengintaian (reconnaissance). Fighter awal berukuran kecil dan bersenjata ringan sesuai dengan standar pada saat itu. Kebanyakan bertipe biplane dan dibangun dengan rangka kayu, ditutupi dengan kain dan memiliki kecepatan maksimum sekitar 100 mpj. Sebagai kontrol angkasa di atas angkatan darat, pengembangan pesawat fighter menjadi penting untuk mendukung operasi militer yang mereka lakukan. Di antara peperangan, rangka kayu digantikan oleh pipa baja, yang kemudian menjadi pipa aluminium, dan pada akhirnya struktur aluminium stressed skin mulai mendominasi.

Sejak PD II, kebanyakan fighter terbuat dari logam, bertipe monoplane dan dipersenjatai dengan deretan (battery) senapan mesin atau kanon, dan beberapa mampu mencapai kecepatan 400 mpj. Kebanyakan fighter hingga titik ini bermesin tunggal, walaupun ada beberapa yang bermesin ganda, akan tetapi mereka tidak berdaya ketika menghadapi fighter bermesin tunggal. Oleh karena itu, fighter bermesin ganda beberapa didegradasi untuk peran yang lainnya seperti fighter malam hari yang dilengkapi dengan set radar yang masih sangat primitif. 


Pesawat Fighter Model Monoplane (foto: http://en.wikipedia.org)

Dengan berakhirnya perang, mesin turbojet menggantikan mesin piston untuk sistem propulsinya, sehingga terus meningkatkan kecepatannya. Karena berat mesin menjadi jauh lebih ringan dari pada mesin piston, sehingga pemakaian dua mesin tidak lagi menjadi kekurangan, dan penggunaan satu atau dua mesin tergantung dari kebutuhan. Pada gilirannya, diperlukan pengembangan kursi lontar supaya pilot dapat menyelamatkan diri ketika dalam kondisi darurat dan G-suit untuk mengantisipasi besarnya gaya (gravitasi) yang dihasilkan ketika pilot bermanuver.

Pada 1950an, radar dipakai untuk pesawat tempur siang karena pilot tidak dapat melihat musuh dalam jarak yang terlalu jauh, dan sejak saat itu kemampuan fighter sangat meningkat dan pemakaian radar menjadi metode utama untuk akuisisi/pelacakan target. Sayap-sayapnya dibuat lebih tipis dan tertekuk ke belakang untuk mengurangi trans-sonic drag yang membutuhkan metode pembuatan baru untuk mendapatkan kekuatan yang cukup. Kulit-nya bukan lagi lembaran metal yang dipaku ke struktur, tetapi merupakan lembaran besar alloy. Batas kecepatan suara telah dilewati, dan kecepatan maksimum pesawat segera mencapa Mach 2, tetapi kemudian terbukti sebagai batas kecepatan yang dapay ditoleransi manusia walaupun sudah memakai G-suit. Kecepatan yang lebih tinggi membuat pesawat tidak dapat bermanuver untuk menghindari serangan.

Misil udara-ke-udara kemudian secara besar-besaran menggantikan senapan dan roket pada awal 1960 setelah kedua senjata tersebut tidak dapat digunakan pada kecepatan tinggi, akan tetapi Perang Vietnam menunjukkan bahwa senapan masih bermanfaat dan kebanyakan fighter yang dibuat setelahnya dipasangi dengan kanon (biasanya antara 20 hingga 30 mm) sebagai tambahan bagi misil. Kebanyakan pesawat tempur modern dapat membawa sepasang misil udara-ke-udara dasar dan beberapa fighter yang lebih besar seperti Sukhoi Su-27 dapat membawa hingga 12 misil. 


Pesawat Fighter Menembakkan Misil Udara-ke-Udara (foto: http://en.wikipedia.org)

Pada 1970an, mesin turbofan menggantikan turbojet, meningkatkan penghematan bahan bakar dan membuat pesawat tempur multi-peran menjadi memungkinkan. Struktur sarang lebah mulai menggantikan milled struktur dan komponen komposit pertama mulai digunakan untuk mengurangi tekanan pada struktur.

Dengan perkembangan komputer yang pesat, sistem pertahanan menjadi lebih efisien dan untuk mengantisipasi hal ini, teknologi siluman dikembangkan oleh AS,Rusia dan China. Langkah pertama untuk ini adalah mencari jalan untuk mengurangi tingkat pemantulan gelombang radar dengan menyembuntikan mesin, menghilangkan ujung yang lancip dan mrngalihkan pantulan radar jauh dari set radar musuh. Berbagai material ditemukan untuk menyerap energi dari gelombang radar, dan dikombinasikan dengan finishing khusus sejak begitu luasnya aplikasi yang ditemukan. Struktur komposit berkembang secara luas, dan menjadi kompoten struktural utama, mengurangi pertambahan berat pesawat fighter modern. Kebanyakan fighter modern lebih besar dan berat dibandingkan momber menengah PD II.






FIGHTER BERMESIN PISTON


Vicker FB 5 Gunbus (foto: en.wikipedia.org)

Perang Dunia I

Kata "fighter" pertama kali digunakan untuk mendeskripsikan pesawat berkursi dua dengan daya angkat cukup untuk membawa senapan mesin, operator senapan dan pilot. Beberapa “fighter” semacam itu dimiliki oleh seri “gunbus” pesawat pembawa senjata eksperimental perusahaan Vickers dari Inggris yang puncaknya pada Vickers F.B.5 Gunbus pada 1914. Kekurangan utama pesawat tipe ini adalah kurangnya kecepatan.

Tipe pesawat militer lainnya membentuk dasar bagi fighter efektif di dunia modern. Pesawat ini berdasar pada pesawat kecil cepat yang dikembangkan sebelum perang untuk balapan udara seperti Gordon Bennett Cup dan Schneider Trophy. Pesawat pandu militer tidak diharapkan untuk dapat membawa persenjataan serius, tetapi lebih pada kecepatan untuk mencapai lokasi yang dibutuhkan untuk dipandu dan diintai dan kemudian secara cepat kembali untuk laporan - pada dasarrnya bisa dianggap sebagai “kuda udara. Pesawat pandu (scout) Inggris termasuk Sopwith Tabloid dan Bristol Scout; pesawat Perancis yang sejenis termasuk Morane-Saulnier N.

Tidak lama setelah dimulainya perang, pilot mempersenjatai dirinya dengan pistol, karabin, granat dan berbagai senjata lain hasil improvisasi. Kebanyakan dari persenjataan ini terbukti tidak efektif karena pilot harus menerbangkan pesawat tetapi harus berusaha membidikkan. Langkah pertama untuk mengatasi masalah ini adalah memasang senjata pada pesawat, tetapi propellor tetap menjadi masalah karena arah senjata ini hanya ke depan. Banyak solusi kemudian dicoba. Awak kedua ditambah di belakang pilot dan menembakkan senapan mesin yang dapat diputar ke arah pesawat musuh. Akan tetapi hal ini membatasi area cakupan penembakan terutama di belakang hemisphere, dan koordinasi efektif antara manuver pilot dengan pembidikan gunner sulit dilakukan. Pilihan ini terutama digunakan sebagi pertahanan diri pada dua pesawat intai dua kursi dari 1915. Baik SPAD A.2 dan Royal Aircraft Factory B.E.9 menambahkan awak kedua di depan mesin dalam sebuah pod, tetapi ini berbahaya bagi awak kedua dan terbatas performanya. Sopwith L.R.T.Tr. menambahkan pod sayap atas, tetapi tidak lebih baik hasilnya.


Pesawat Pandu tipe "Pusher" airco DH 2 (Foto: en.wikipedia.org)

Sebuah alternatif adalah dengan membangun pesawat pandu “pusher” seperti Airco DH.2, dengan propeler yang terpasang di belakang pilot. Kekurangan utama tipe ini adalah tingginya drag pada struktur ekor yang membuatnya lebih lambat dari pesawat tipe “tractor”.

Solusi yang lebih baik untuk pesawat pandu satu kursi adalah memasang senapan mesin untuk menembak ke depan tetapi diluar busur propellor. Senapan sayap dicoba tetapi dengan tidak adanya senjata yang handal memerlukan seringnya pembersihan amunisi yang seret dan macet dan tetap tidak praktis hingga selesainya perang. Memasang senapan mesin di atas sayap atas bekerja dengan baik dan digunakan cukup lama setelah solusi ideal ditemukan. Nieuport 11 pada 1916 dan Royal Aircraft Factory S.E.5 pada 1918 keduanya menggunakan sistem ini dengan sukses besar, akan tetapi dengan sistem ini pembidikan menjadi sulit dan lokasinya membuat pilot kesulitan dalam bermanuver. Selain itu pilot juga kesulitan untuk mendapat akses ke bagian belakang senapan (untuk pengisian amunisi). Foster mounting (senapan dengan rel geser) didesain untuk mengatasi masalah tersebut.

Kebutuhan terlihat jelas untuk mempersenjatai pesawat pandu “tractor” dengan persenjataan yang menembak ke depan yang mana pelurunya melewati busur propeler sebelum pecahnya perang, dan penemu di Jerman maupun Perancis merancang mekanisme yang dapat mengatur waktu penembakan segingga amunisi tidak menghantam bilah propeler. Franz Schneider, seorang teknisi Swiss mematenkan peralatan dengan mekanisme semacam ini di Jerman pada 1913, tetapi tidak ditindaklanjuti. Desainer pesawat Perancis, Raymond Saulnier mematenkan peralatan praktis pada April 1914, tetapi ujicobanya tidak berhasil karena kecenderungan senapan mesin mengalami hang fire yang disebabkan ketidak-handalan amunisi. 


Mourane-Saulnier Type L yang dirampas Jerman (Foto: en.wikipedia.org)

Pada Desember 1914, aviator Perancis Roland Garros meminta Saulnier untuk memasang synchronization gear ke Morane-Saulnier Type L. Sayangnya senapan mesin Hotchkiss yang dioperasikan dengan gas menghasilkan kecepatan penembakan yang tidak menentu dan menjadi tidak mungkin mensinkronisasikannya dengan propeler yang berputar. Sebagai langkah sementara, bilah propeler diberi lapis baja dan dipasangi dengan pasak logam untuk melindungi pilot dari pantulan peluru. Pesawat monoplane yang dimodifikasi milik Garros pertama kali terbang pada Maret 1915 dan mulai ditugaskan ke operasi tempur segera setelahnya. Garros membuat tiga kemenangan sebelum dia sendiri ditembak jatuh pada 18 April dan pesawatnya, bersama dengan synchronization gear dan propeller dirampas oleh Jerman.

Sementara itu, synchronization gear (di Jerman disebut sebagai Stangensteuerung, yang berarti "pushrod control system") dirancang oleh teknisi firma Anthony Fokker yang merupakan sistem yang oertama kali menerima kontrak produksi, dan membuat pesawat monoplane Fokker Eindecker ditakuti oleh Front Barat, walaupun pesawat ini merupakan sebuah adaptasi dari pesawat balap pra-perang yang obsolete Morane-Saulnier milik Perancis, dengan performa medioker dan karakteristik penerbangan yang buruk. Kemenangan pertama untuk Eindecker terjadi pada 1 Juli 1915, ketika Letnan Kurt Wintgens terbang dengan Feldflieger Abteilung di Front Barat menjatuhkan pesawat monoplane “parasol” dua-kursi Morane-Saulnier Type L hanya di sebelah timur Luneville. Pesawat milik Wintgens adalah salah satu dari lima contoh purwarupa produksi Fokker M.5K/MG dari Eindecker, dipersenjatai dengan sebuah synchronized, air-cooled aviation versi dari senapan mesin Parabellum MG14.


Pesawat Triplane milik Fokker (Foto: en.wikipedia.org)

Sukses Eindecker memulai putaran pengembangan kompetitif di antara kombatan, membuat fighter berkursi-tunggal yang lebih baik. Albatros D.I dan Sopwith Pup pada 1916 membuat pola klasik yang diikuti fighter untuk sekitar 20 tahun. Kebanyakan bertipe biplane dan hanya sedikit yang monoplane ataupun triplane. Struktur box kuat pada sayap biplane menghasilkan sayap yang kaku yang mengijinkan kontrol lateral akurat untuk dogfighting. Pesawat-peswat ini mempunyai operator tunggal, baik mengontrol pesawat maupun persenjataannya. Mereka dipersenjatai dengan satu atau dua senapan mesin Maxim atau Vickers yang lebih mudah untuk disinkronisasi dari pada tipe lainnya, menembak di antara busur propeler. Bagian belakang senapan berada tepat di depan pilot dengan implikasi yang jelas jika terjadi kecelakaan, tetapi jika terjadi kemacetan senapan dapat dengan mudah diperbaiki dan pembidikan menjadi lebih mudah.


Perbandingan Jenis Sayap (Gambar: www.answers.com)

Penggunaan struktur pesawat logam mulai dipelopori sebelum PD I oleh Breguet tetapi kemudian mendapatkan saingan terbesarnya dengan Anthony Fokker yang menggunakan chrome-molybdenum steel tubing untuk struktur badan peaswat untuk semua desain fighter-nya, sementara teknisi Jerman yang Inovatif, Hugo Junkers, mengembangkan dua desain pesawat fighter monoplane kursi-tunggal semua-metal, dengan sayap cantilever. Pesawat eksperimental Junkers J 2 dibuat dengan baja dan sekitar 40 contoh Junkers D.I dibuat dengan duralumin berombak (corrugated duralium), semua berdasarkan pengalamannya dalam membuat teknologi airframe semua-logam pesawat demonstrasi Junkers J 1 pada akhir 1915. Sementara Fokker fokus dalam pengembangan badan pesawat dengan rangka tabung baja bersayap kayu hingga akhir 1930an dan Junker fokus pada lembaran logam berombak (corrugated sheet metal), Dornier menjadi yang pertama dalam membuat fighter (Dornier D.I) dengan lembaran aluminium pre-stressed dan dengan sayap cantelevered, sebuah format yang akan menggantikan yang lainnya pada 1930an.

Dengan berkembangnya pengalaman temput kolektif, pilot-pilot sukses seperti Oswald Boelcke, Max Immelmann, dan Edward Mannock mengembangkan formasi dan manuver taktis inovatif untuk meningkatkan efektifitas unit udaranya.

Pilot Sekutu dan Jerman sebelum 1918 pada PD I tidak dilengkapi dengan parasut, sehingga jika kebakaran ataupun kegagalan struktur pada saat penerbangan dapat berakibat fatal. Parasut dikembangkan dengan baik pada 1918 dan sebelumnya digunakan oleh para balloonist, dan diadopsi oleh jasa penerbangan Jerman pada tahun itu ("Red Baron" yang terkenal menggunakan salah satunya dan tewas), tetapi komando Sekutu terus menentang penggunaannya.

Pada April 1917, selama periode singkat supremasi udara Jerman, harapan hidup pilot Inggris Front Barat yang diklaim oleh Anggota Parlemen adalah 93 jam terbang, atau sekitar tiga minggu tugas aktif. Lebih dari 50,000 airmen dari kedua belah pihak tewas selama perang.



Periode Antar-Perang (1919–38)

Pengembangan fighter melambat selama periode antar-perang ini, terutama di AS dan UK, di mana anggarannya dipotong besar-besaran. Di Perancis, Italia dan Rusia, di mana anggaran diijinkan untuk pengembangan besar, baik monoplane dan pesawat berstruktur logam yang umum pada akhir 1920an. Akan tetapi mereka telalu banyak menghamburkan uang dan akhirnya malah dilalui oleh negara yang tidak terlalu banyak menghamburkan uang, AS, Inggris dan Jerman, pada awal 1930.

Dengan terbatasnya anggaran pertahanan, AU cenderung konservatif dalam pengadaan pesawat, dan tipe biplane masih populer dengan pilot karena kelincahannya, dan tetap beroperasi dalam jangka waktu lama karena kompetitif. Desain seperti Gloster Gladiator, Fiat CR.42, dan Polikarpov I-15 merupakan desain umum walaupun di akhir 1930an dan banyak yang masih dioperasikan hingga akhir 1942. Hingga awal 1930an, sebagian besar fighter di AS, Inggris, Italia dan Rusia masih merupakan biplane yang dilapisi oleh kain. Persenjataan fighter akhirnya mulai dipasang di dalam sayap, di luar busur propeler, walaupun kebanyakan masih mempertahankan penggunaan dua senapan mesin yang disinkronisasi di tepat di depan pilot (yeng merupakan bagian terkuat dari struktur pesawat). Senapan dengan kaliber.30 dan .303 (7.62 mm) tetap menjadi favorit karena senjata yang lebih besar terlalu berat dan terlalu susah untuk digunakan atau dianggap tidak perlu untuk pesawat ringan. Persenjataan tipe PD I masih terus digunakan dalam menghadapi fighter musuh karena tidak cukupnya pertempuran udara-ke-udara untuk menyanggah anggapan ini.


Mesin Rotary (Foto: www.aviationexplorer.com)

Mesin rotary, populer selama PD I, dengan cepat mulai hilang setelah mencapai puncaknya karena gaya rotasi menjegah bahan bakar dan udara untuk dikirim ke silinder, yang pada akhirnya membatasi tenaga yang dihasilkan. Mesin ini terutama digantikan terutama oleh mesin radial stasioner meskipun pengembangan mesin terus dibuat dengan mesin inline yang mendapatkan dasarnya dengan beberapa mesin, termasuk 1,145 cu in/18.8 L V-12 Curtiss D-12. Tenaga mesin pesawat meningkat beberapa kali lipat selama periode ini, dari 180 hp (130 kW) pada Fokker D.VII 1918 menjadi 900 hp (670 kW) pada Curtiss P-36 1938. Debat antara mesin in-line versus model radial berlanjut, AU naval lebih menyukai mesin radial, sementara AD lebih memilih mesin in-line. Desain radial tidak memerlukan sistem pendingin terpisah (dan rentan), tetapi telah meningkatkan drag. Mesin in-line memiliki rasio tenaga-ke-berat yang lebih baik. Akan tetapi, mesin radial dapat tetap bekerja dengan baik walaupun telah mengalami kerusakan parah akibat pertempuran. 

Mesin Radial (Gambar: www.plm.automation.siemens.com)

Beberapa AU bereksperimen dengan “heavy fighters" (yang disebut "destroyer" oleh Jerman). Pesawat ini lebih besar, biasanya dengan mesin kembar, kadang-kadang merupakan adaptasi dari tipe bomber kecil maupun menengah. Desain semacam ini biasanya memiliki kapasitas bahan bakar internal yang lebih besar (yang tentu saja meningkatkan jarak operasional pesawat) dan persenjataan yang lebih berat dari pada pesawat bermesin tunggal. Dalam pertempuran, pesawat ini terbukti rentan terhadap fighter yang bermesin tunggal yang lebih lincah.


Mesin in-line (Foto: www.lightsportaircraft.ca)

Pada masa akhir periode antar perang, terjadi Perang Sipil Spanyol. Ini merupakan kesempatan bagi Luftwaffe Jerman, Regia Aeronautica Italia, dan Red Air Force Uni Soviet untuk menguji kemampuan pesawat terbaru mereka. Setiap pihak mengirimkan sejumlah pesawat untuk mendukung setiap kepentingannya di konflik. Pada dogfight di atas Spanyol, fighter Messerschmitt (Bf 109) terbukti memiliki kemampuan yang sangat baik, begitu juga denganPolikarpov I-16 milik Soviet. Desain Jerman memiliki ruang yang sangat besar untuk pengembangan dan pengalaman yang didapat selama perang ini mengarah pada pengembangan model yang jauh lebih baik pada PD II. Russia, yang merupakan pihak yang kalah, gagal untuk menjaga kecepatan pengembangan pesawat, dan I-16 dikalahkan oleh Bf-109 yang sudah dikembangkan pada PD II. Dan walaupun model yang lebih baru bermunculan, I-16 tetap menjadi fighter garis-depan utama hingga 1942.

Italia mengembangkan beberapa monoplane seperti Fiat G.50, tetapi karena kekurangan dana, mereka dipaksa untuk tetap mengoperasikan pesawat biplane Fiat CR.42 yang usang. Dari awal 1930an, Jepang telah berperang di China melawan Nasionalis China dan juga Rusia. Jepang menggunakan pengalamannya untuk mengembangkan pelatihan dan pesawat, mengganti pesawat biplane dengan pesawat monoplane canteveler modern, dan membentuk kader untuk pilot istimewa untuk diterjunkan dalam Perang Pasifik. Di Inggris, di bawah perintah Neville Chamberlain, seluruh industri aviasi Inggris diperlengkapi kembali, yang mengijinkan perubahan cepat dari pesawat biplane berangka logam yang dilapisi kain menjadi pesawat monoplane canteveler pada waktu perang dengan Jerman.Tanpa usahanya pada awal 30an, Churchill tidak akan memiliki pendukung untuk mengalahkan Jerman. Periode untuk pengembangan pesawat biplane mulai berakhir, dan fighter Hawker Hurricane dan Supermarine Spitfire akhirnya mulai menggantikan fighter biplane Gloster Gladiator dan Hawker Fury walaupun mereka tetapi dioperasikan di garis depan. Walaupun Spanyol bukan kombatan, mereka menyerap banyak pelajaran. 

Perang Sipil Spanyol juga menyediakan kesempatan untuk memperbarui taktik fighter. Salah satu inovasi yang dihasilkan dari pengalaman peperangan udara adalah formasi "finger-four" oleh pilot Jerman Werner Mölders. Setiap skuadron fighter dibagi menjadi beberapa penerbangan (Schwärme) yang tiap-tiapnya terdiri dari empat pesawat. Setiap Schwarm dibagi menjadi dua Rotten yang merupakan sepasang pesawat. Setiap Rotte terdiri dari pemimpin dan wingman. Formasi fleksibel ini membuat pilot dapat mempertahankan kewaspadaan situasional, dan dua Rotten dapat berpisah kapan saja untuk menyerang musuhnya sendiri. Taktik finger-four kemudian diadopsi secara luas dan menjadi formasi taktis dasar selama Perang Dunia.



Messerschmitt Bf 109 (Foto: en.wikipedia.org)

Perang Dunia II

Pertempuran udara menjadi bagian penting pada doktrin militer PD II. Kemampuan pesawat untuk menemukan, mengacaukan dan mencegat pasukan darat merupakan bagian penting dari doktrin pasukan gabungan Jerman, dan ketidakmampuan mereka untuk meraih superioritas udara di atas Inggris membuat invasi Jerman menjadi tidak layak. Marsekal Lapangan Jerman Erwin Rommel mencatatkan efek kekuatan udara.: "Anyone who has to fight, even with the most modern weapons, against an enemy in complete command of the air, fights like a savage against modern European troops, under the same handicaps and with the same chances of success."

Selama 1930an, dua aliran pemikiran berbeda mengenai pertempuran udara-ke-udara mulai muncul, menghasilkan dua pendekatan untuk pengembangan fighter monoplane. Khususnya di Jepang dan Italia, memiliki kepercayaan kuat bahwa fighter berkursi-tunggal, bermanuverabilitas tinggi dan bersenjata ringan masih memainkan peranan utama dalam pertempuran udara-ke-udara. Pesawat seperti Nakajima Ki-27, Nakajima Ki-43 dan Mitsubishi A6M Zero di Jepang dan Fiat G.50 dan Macchi MC.200 di Italia melambangkan generasi monoplane yang didesain dengan konsep ini

Pada aliran pemikiran yang lainnya, yang muncul tertama di Inggris, Jerman, Uni Soviet dan AS, percaya bahwa kecepatan pesawat tempur modern dan gaya gravitasi yang terjadi pada pertempuran udara membuat dogfighting seperti yang terjadi pada PD I dirasa akan menjadi tidak mungkin. Fighter seperti Messerschmitt Bf 109, Supermarine Spitfire, Yakovlev Yak-1 dan Curtiss P-40 Warhawk semuanya didesain untuk kecepatan tinggi dan kecepatan pendakian yang baik. Manuverabilitas yang baik memang diinginkan, tetapi bukanlah tujuan utama.

Pada 1939 Battle of Khalkhyn Gol (11 Mei – 31 Agustus 1939) antara Jepang dan Uni Soviet, dan selanjutnya invasi Jerman ke Polandia, terlalu singkat untuk memberikan feedback pada peserta perang untuk evolusi lanjut doktrin fighter. Selama Winter War, AU Finlandia yang kalah jumlah, yang mengadopsi formasi finger-four Jerman, mampu mengatasi AU Merah Rusia yang menggunakan taktik yang kurang efektif dengan tiga pesawat yang disebut formasi delta.

Theater Eropa (Front Timur)

Di Front Timur, kejutan taktis pada Operation Barbarossa menunjukkan bahwa pertahanan udara Soviet sangat menyedihkan, dan Great Purge menganggap semua pelajaran yang didapat oleh Komando AU Merah dari pengalaman sebelumnya di Spanyol dan Finlandia tidak berguna secara virtual. Selama beberapa bulan awal invasi, AU Axis (Jerman, Italia, Jepang) dapat menghancurkan banyak pesawat AU Merah Soviet baik di daratan maupun dogfight yang tidak seimbang. Akan tetapi, pada musim dingin 1941–1942, AU Merah dapat membuat pertahanan udara yang kompak di Moskow, berhasil menghalangi serangan di Leningrad, dan mulai memproduksi tipe pesawat baru di pabrik hasil relokasi di Ural, Siberia, Asia Tengah dan Kaukasus. Fasilitas-fasilitas ini memproduksi fighter monoplane yang lebih canggih seperti Yak-1, Yak-3, LaGG-3, dan MiG-3, untuk merebut superioritas udara dari tangan Luftwaffe. Akan tetapi, pelatihan aircrew Soviet dibandingkan dengan Luftwaffe jauh lebih terburu-buru dan kurang, sehingga kekalahan pilot Soviet terus berlanjut dan tidak seimbang, hingga bertambahnya para pilot yang selamat dan mendapat pengalaman dari pertempuran didukung dengan mesin yang lebih efektif.

Pada awal 1942, fighter Inggris dan AS dalam jumlah besar disuplay untuk membantu usaha perang Soviet, dengan Bell P-39 Airacobra yang terbukti efektif untuk peperangan ketinggian rendah yang menjadi ciri Front Timur. Mulai dari saat itu, Front Timur menjadi arena terbesar penggunaan pesawat fighter di dunia, fighter digunakan dalam semua peran khas pada periode tersebut, termasuk peran support udara jarak dekat, pengacau musuh (interdiction), pengawalan dan pencegatan. Beberapa pesawat dipersenjatai dengan kanon 45mm (khususnya untuk menyerang kendaraan lapis baja musuh), dan Jerman mulai memasang kanon yang lebih kecil dalam pod di bawah sayap untuk membantu misi serang darat.


Zero (Foto: en.wikipedia.org)
Theater Pasifik

Perang di Pasifik dibuka dengan serangan jepang yang tidak hanya mengejutkan musuh di Pearl Harbour, Filipina dan Hindia Belanda Timur (sekarang Indonesia), tetapi juga memberikan kejutan betapa canggihnya fighter mereka.

Pada awal perang, Imperial Japanese Navy Air Service utamanya mengoperasikan Mitsubishi A6M Zero, sementara Imperial Japanese Army Air Service memakai Nakajima Ki-43 sebagai pengganti Nakajima Ki-27. Baik A6M dan Ki-43 tidak ada duanya pada saat itu, dan memiliki jarak operasional yang dua kali lebih jauh dibandingkan musuh-musuhnya dan juga mempunyai manuveraibilitas yang sangat baik. Keduanya didesain sebelum pelajaran dari Theater Eropa sehubungan dengan pemakaian plating ;apiis baja dan self sealing tangki bahan bakar, dan sebagai hasilnya menjadi kekurangan mereka hingga akhir perang dan rentan rusak, sementara beratnya yang ringan yang dibuat untuk meningkatkan jarak dan manuverabilitas yang berarti mereka dapat dikalahkan (kecepatan tukiknya) oleh fighter Sekutu. Pada awal perang, mereka mendatangkan bencana bagi Brewster Buffalo, Hawker Hurricane dan Grumman F4F Wildcat yang mana mereka superior dalam segala hal kecuali kecepatan tukik. Pilot Sekutu yang tidak berpengalaman membuat situasi menjadi lebih buruk.

Ketika Sekutu berhasil merampas pesawat musuh yang utuh (atau mendekati utuh), mereka dipelajari oleh Allied Technical Air Intelligence Unit (dan organisasi serupa yang lain), yang mana ditemukan bahwa walaupun tidak ada pesawat Sekutu yang dapat menyamai fighter Jepang dalam hal dogfight, mereka memiliki keuntungan dalam hal tukikan, dan sebagai hasilnya taktik Sekutu dirubah.

Sementara Sekutu masih mundur penuh dari raksasa Jepang, “Flying Tigers” dibentuk untuk membantu China yang sudah berperang melawan Jepang selama beberapa tahun. Flying Tiger memberikan sekutu beberapa kesuksesan pertama melawan Ki-43 dan Ki-27, walaupun klaim mereka dianggap terlalu berlebihan. Disamping membantu China, AS juga memberikan peralatan untuk Australia

Pilot Jepang mengasah kemampuannya saat melawan Rusia dan Jepang di Manchuria (Second Sino-Japanese War) dan Mongolia (Soviet–Japanese war) sehingga mereka memulai perang dengan pilot fighter berpengalaman istimewa, akan tetapi tidak terelakan bahwa sistem pelatihan untuk pilot pengganti sangatlah tidak memadai, dan menjadi masalah kritis, sehingga memberikan pada trainee jam terbang yang cukup menjadi tidak munkin karena keterbatasan bahan bakar. Pada 1945, pilot-pilot yang dikirim untuk unit operasional hanya memiliki jam terbang tidak lebih 20 jam, sementara pilot AS dan Australia memiliki 100 jam terbang pada saat pelatihan, dan dapat meningkatkan secara drastis jumlah pilot veteran bagi pihak AS dan Australia. Dalam konteks taktik Kamikaze, kebanyakan pilot yang tersedia cenderung akan tertembak jatuh, sehingga dengan sengaja mereka mengorbankan diri, sehingga setidaknya menghasilkan sesuatu. 


Bomber B-29 (Foto: en.wikipedia.org)

Kurangnya pelatihan pilot bukan hanya masalah yang dihadapi Jepang. Pada 1944, AU AS membom negara Jepang dengan bomber Boeing B-29 Superfortress, yang dari awal membuktikan bahwa kemampuannya jauh diatas kemampuan fighter Jepang. Akan tetapi walaupun produksi pesawat jepang sudah menurun drastis (bukan hanya karena pengeboman, tetapi juga karena Jepang merelokasi industri pertahanannya agar aman dari pengeboman), fighter Jepang baru dan inteceptor tetap bermunculan, beberapa sekali lagi superior tergadap pesawat Sekutu, seperti Nakajima Ki-84 dan Kawanishi N1K. Akan tetapi jeleknya kualitas bahan bakar, kurangnya pelatihan pilot dan sedikitnya jumlah pesawat tersebut membuat efek superioritas mereka tidak kelihatan efeknya. Jepang mempelopori penggunakan bom anti-pesawat untuk menghadapi B-29 selama periode ini.

Dengan berakhirnya perang di Eropa, akhirnya AS bersama Inggris dapat menggunakan seluruh sumberdaya mereka untuk mengalahkan Jepang. Walaupun sebelumnya AU AS sudah memindahkan fighter mereka yang tidak cocok untuk melawan Jerman ke Pasifik, seperti Curtiss P-40 Warhawk dan Lockheed P-38 Lightning, dan sekarang AS dapat menggunakan North American P-51 Mustang, yang membuat A6M Zero menjadi terlihat begitu ketinggalan jaman. Perang berakhir sebelum pesawat yang dikembangkan sebelum perang Pasifik dapat dioperasikan, Grumman F8F Bearcat hanya beberapa minggu akan dioperasikan pada saat perang berakhir.



Curtiss P-36 Hawk (Foto: en.wikipedia.org)

Inovasi Teknologi

Tenaga mesin-piston meningkat drastis selama perang. Curtiss P-36 Hawk memiliki mesin radial dengan tenaga 900 hp (670 kW) tetapi segera didesain ulang menjadi P-40 Warhawk dengan mesin in-line bertenaga 1100 hp (820 kW). Pada 1943, P-40N terbaru memiliki mesin Allison bertenaga 1300 hp (970 kW). Pada saat berakhirnya perang, interseptor Jerman Focke-Wulf Ta 152 dapat mencapai 2050 hp (1530 kW) dengan sebuah supercharger MW-50 (injeksi methanol-air) dan P-51H Mustang milik Amerika yang dilengkapi dengan Packard V-1650-9 dapat mencapai 2218 hp (1650 kW) di bawah tenaga darurat perang. Spitfire Mk I pada 1939 bermesin Merlin II 1030 hp (770 kW); suksesornya pada 1945 Spitfire F.Mk 21, dilengkapi dengan mesin Griffon 61 dengan tenaga 2035 hp (1520 kW). Demikian juga mesin radial juga meningkat tenaganya dari 1,100 hp (820 kW) menjadi 2090 hp(1560 kW) selama jangka waktu yang sama.

Persenjataan yang lebih kuat menjadi prioritas pada awal perang, karena pesawat fighter monoplane dengan stressed-skin tidak mudah lagi ditembak jatuh dengan menggunakan senapan mesin rifle-caliber. Pengalaman Jerman di Perang Sipil Spanyol membuat mereka memakai kanon 20mm pada fighter mereka. Inggris dengan segera mengikutinya dengan pemasangan kanon di dalam sayap pesawat Hurricane dan Spitfire yang sebelumnya memiliki hingga duabelas senapan mesin. Amerika mempunyai masalah dalam mendesain kanon mereka sendiri, sehingga memilih memakai senapan mesin .50 caliber (12.7 mm) pada fighter mereka.

Persenjataan terus berkembang selama perang, dengan jet Me 262 Jerman yang memiliki empat kanon 30 mm, yang dapat menembak jatuh bomber berat hanya dengan beberapa tembakan. Kanon menembakkan peluru eksplosif yang dapat membuat lobang di pesawat musuh dari pada energi kinetik dari peluru padat yang membidik subsistem penting (jalur bahan bakar, sistem hidrolik, kabel kontrol, pilot dll). Perdebatan terjadi dalam pemilihan senjata, tinggi kecepatan tembakan senapan mesin melawan lambatnya kecepatan tembakan kanon tetapi lebih menghancurkan.

Dengan meningkatnya kebutuhan dukungan udara jarak dekat pada medan perang, fighter kemudian banyak dilengkapi dengan rak bom dan digunakan sebagai fighter-bomber. Beberapa desain, seperti Fw 190 Jerman terbukti sangat mampu menjalankan peran ini, walaupun desain awalnya murni untuk interseptor. Pemakaian persenjataan udara-ke-permukaan seperti bom di bawah sayap pesawat, mengurangi manuverabilitas pesawat karena kurangnya daya angkat dan meningkatnya drag, tetapi setelah bom dijatuhkan, pesawat akan kembali memiliki kemampuan penuhnya. Dengan fleksibilitas inilah, fighter-bomber memberikan staf komando kebebasan untuk meluncurkan airgroup baik untuk superiorotas udara atau serang-darat tergantung kebutuhan.

Perkembangan teknologi radar yang cepat, yang ditemukan tepat sebelum PD II, mengijinkan pemasangannya pada beberapa fighter sepertu Boulton Paul Defiant, Bristol Beaufighter, de Havilland Mosquito dan selanjutnya pada Messerschmitt Bf 110, Fairey Fulmar, Grumman F6F Hellcat dan Northrop P-61 Black Widow, membuat mereka dapat mendeteksi target pada malam hari. Inggris menggunakan fighter malam pertama yang dilengkapi radar selama Battle of Britain (Bristol Blenheim) pada 1940 dan terus dikembangkan setelahnya. Jerman kemudian mengembangkan beberapa tipe fighter-malam yang digunakan dalam pengemboman malam oleh RAF Bomber Command. Karena radar yang dipakai masih primitif dan sulit digunakan, kebanyakan pesawat yang dilengkapi radar digunakan untuk peran ini (fighter-malam) hingga pada 1944 ketika fighter kursi tunggal yang lebih kecil diperkenalkan. Sebagai bagian perjanjian Lend Lease antara AS dan Britania Raya, Inggris memberikan seluruh data riset radar ke AS, yang kemudian mengembangkan generasi akhir radar yang digunakan pada PD II. Pengembangan Jerman umumnya di belakang Inggris dan AS, tetapi lebih baik dengan pengembangan peralatan radar peringatan dan deteksi. Sebaliknya, Jepang sama sekali tidak memperdulikan radar hingga akhir perang dan hanya membuat set radar yang primitif, yang secara luas menggunakan antena Yagi, yang diberinama sesuai penemunya.



Ryan FR-1 Fireball (Foto: en.wikipedia.org)

Periode Setelah PD II

Beberapa program purwarupa fighter dimulai pada awal 1945 dan membuat dighter bermesin piston yang lebih canggih mulai diproduksi dan mulai dioperasikan pada 1946. Sebagai contoh adalah Lavochkin La-9 'Fritz', yang merupakan evolusi dari Lavochkin La-7 'Fin' yang sukses selama perang. Berkerja melaluo seri purwarupa La-120, La-126 dan La-130, biro desain Lavochkin mengganti airframe kayu milik La-7 dengan logam, serta memasang sayap laminar-flow untuk meningkatkan performa manuver dan meningkatkan kapasitas persenjataan. La-9 mulai dioperasikan pada Agustus 1946 dan diproduksi hingga 1948; pesawat ini juga berperan sebagai dasar pengembangan pesawat fighter kawal jarak jauh La-11 'Fang', yang diproduksi hingga mendekati 1200 pesawat antara 1947–1951. Dengan adanya Perang Korea, masa mesin piston dianggap mendekati akhir dan masa depan fighter akan menggunakan mesin jet.

Periode ini juga menjadi saksi pengembangan mesin pesawat piston yang dibantu dengan jet. Turunan La-9 termasuk menjadi contohnya yang menggunakan dua mesin pulsejet tambahan di bawah sayap (La-9RD) dan epasang mesin ramjet tambahan yang dipasang di bawah sayap (La-138). Akan tetapi tidak ada satupun dari pesawat-pesawat ini yang memasuki masa operasional. Salah satu (Ryan FR-1 Fireball) yang masuk masa operasional dengan AL AS pada Maret March 1945 pada VJ Day, produksinya dihentikan dengan berakhirnya perang, dengan hanya 66 pesawat yang diselesaikan dan dikirim. Pesawat ini dipensiunkan pada 1947. AU AS memesan 13 purwarupa pesawat fighter Consolidated Vultee XP-81 bermesin turbojet-turboprop pertama, tetapi program ini juga dibatalkan pada VJ Day, pada saat penyelesaian teknis program mencapai 80%.






FIGHTER BERMESIN ROKET


Me-163 Komet (foto: www.world-war-2-planes.com)

Pesawat bermesin roket pertama adalah Lippisch Ente, yang sukses melakukan penerbangan pertamanya pada Maret1928. Pesawat bermesin roket murni satu-satunya yang diproduksi secara masal adalah Messerschmitt Me 163 pada 1944, salah satu dari proyek Jerman pada PD II. Varian selanjutnya Me 262 (C-1a dan C-2b) juga dipasangni dengan mesin roket, model pertamanya dilengkapi dengan booster roket, akan tetapi pesawat ini tidak masuk fase produksi. USSR bereksperimen dengan sebuah interseptor bermesin roket segera setelah berakhirnya PD II Mikoyan-Gurevich I-270. Hanya dua yang dibuat.

Desain fighter bermesin turbojet pertama mulai operasional pada 1944, dan jelas mengalahkan performa pesawat bermesin piston pada saat itu. Desain baru seperti Messerschmitt Me 262 dan Gloster Meteor menunjukkan efektifitas sistem propulsi baru. Kebanyakan pesawat ini dapat melaju dengan kecepatan lebih dari 660 km/jam (410 mpj), dan cukup cepat dalam menukik saat mereka mulai mengalami pengalaman hentakan; semacam turbulensi yang kadang membuat mesin hancur pada penerbangan karena beratnya beban pada saat mendekati “batas suara". Rem tukik ditambahkan pada fighter pada akhir PD II untuk meminimalkan masalah dan mempermudah kontrol pilot.


Saunders-Roe SR.53 (foto: www.spaceuk.org)

Pada 1950an, Inggris mengembangkan desain pesawat bermesin campuran, yang menggunakan mesin roket dan jet untuk mengantisipasi jurang performa yang terjadi pada desain turbojet. Roket menjadi mesin utama untuk mendapatkan kecepatan dan ketinggian yang diperlukan oleh pencegatan kecepatan tinggi, dan turbojet meningkatkan penghematan bahan bakar, terutama untuk memastikan pesawat dapat melakukan pendaratan bertenaga agar tidak terjadi “gliding return” yang tidak terprediksi. Saunders-Roe SR.53 adalah desain yang sukses dan direncanakan dikembangkan untuk produksi. Akan tetapi krisis ekonomi memaksa pengurangan sebagian besar program pesawat Inggris pada akhir 1950. Selanjutnya, perkembangan teknologi mesin jet yang sangat cepat, membuat pesawat bermesin campuran seperti Saunders-Roe SR.53 (dan varian maritimnya SR.177) menjadi keringgalan jaman. XF-91 Thunderceptor (yang merupakan fighter pertama AS yang mecapai kecepatan 1 Mach) menghadapi kenyataan serupa, dan tidak ada mesin campuran roket dan jet yang memasuki masa operasional. Implementasi propulsi campuran yang operasional hanyalah sistem Rocket-Assisted Take Off (RATO), seuah sistem yang jarang dipakai pada fighter.






FIGHTER BERMESIN JET

Me-262A (foto: en.wikipedia.org)

Sudah menjadi hal yang umum dalam komunitas aviasi untuk mengklasifikasi pesawat fighter jet menjadi beberapa generasi untuk tujuan historis. Tidak ada definisi resmi untuk generasi-generasi ini; akan tetapi mereka hanya merepresentasikan tahap-tahap pengembangan pendekatan desain fighter, kemampuan performa dan evolusi teknologi.

Rentang waktu setiap generasi tidaklah pasti dan hanya menunjukkan periode selama filosofi desain dan penggunaan teknologinya memberikan pengaruh besar dalam desain dan pengembangan pesawat fighter. Rentang waktu juga meliputi periode puncak service entry pesawat-pesawat di tiap generasi.


Generasi Pertama (Pertengahan 1940an hingga pertengahan 1950an)

Pesawat fighter jet generasi pertama yang terdiri dari desain fighter jet subsonik awal yang dipperkenalkan di akhir PD II dan periode awal pasca-perang. Mereka hanya berbeda sedikit dengan pesawat bermesin piston dalam penampilannya, dan kebanyakan menggunakan sayap tak-tertekuk. Senapan mesin masih merupakan persenjataan utama. Prioritas pengembangan pesawat bermesin-turbojet adalah untuk memperoleh keuntungan mutlak dengan kecepatan maksimum. Kecepatan maksimum fighter meningkat secara drastis selama PD II dengan adanya pengembangan mesin piston yang lebih powerful, dan mulai mendekati penerbangan transonik di mana efisiensi propeler berpenggerak piston menurun drastis

Fighter jet pertama dikembangkan selama PD II dan terlihat melakukan pertempurandalam dua tahun terakhir masa PD II. Messerschmitt mengembangkan dighter jet operasional pertama, Me 262. Pesawat ini jauh lebih cepat jika dibandingkan dengan pesawat bermesin piston, dan ditangan pilot handal, cukup sulit bagi pilot Sekutu untuk mengalahkannya. Pesawat ini tidak dioperasikan dalam jumlah yang cukup untuk menghentikan serangan udara Sekutu, dan kombinasi dari terbatasnya bahan bakar, kehilangan pilot, dan kesulitan teknis pada mesinnya membuat jumlahnya tetap sedikit. Meskipun demikian, Me 262 telah mengindikasikan bahwa pesawat bermesin piston mulai ketinggalan jaman. Didorong oleh laporan tentang jet Jerman, Gloster Meteor milik Inggris segera masuk produksi dan dua di antaranya mulai bertugas pada 1944. Meteor biasanya digunakan untuk mencegat V-1 "buzz bomb", karena pesawat ini lebih cepat dari pada pesawat piston yang ada pada saat itu. Pada akhir perang, hampir semua pekerjaan pesawat fighter bermesin piston berakhir. Beberapa desain yang mengkombinasikan antara mesin piston dan jet untuk propulsi, seperti Ryan FR Fireball, hanya digunakan dalam waktu yang singkat. Pada akhir 1940an, secara virtual semua pesawat tempur baru bermesin jet.


Gloster Meteor (foto: en.wikipedia.org)

Disamping kelebihannya, fighter jet awal jauh dari sempurna. Masa pakai operasional mereka, terutama untuk powerplant turbin gas, dapat dihitung dengan ukuran jam; mesinnya sendiri sangat rapuh dan besar, dan tenaganya hanya dapat diatur secara perlahan-lahan. Banya skuadron fighter bermesin piston tetap dipertahankan hingga awal-pertengahan 1950an, bahkan masih menjadi kekuatan utama (walaupun yang dipertahankan adalah desain terbaik dari PD II. Inovasi termasuk kursi lontar dan all-moving tailplanes diperkenalkan pada periode ini.

AS juga menggunakan fighter jet pada masa pasca-perang. Lockheed P-80 Shooting Star (yang kemudian diganti nama menjadi F-80) kurang elegan jika dibandingkan dengan Me-262 bersayap-tekuk, tetapi memiliki kecepatan jelajah (660 km/j [410 mpj]) yang sama cepatnya dengan kecepatan maksimum pesawat fighter bermesin-piston.


MiG-15 (foto:en.wikipedia.org)

Inggris mendesain beberapa jet, termasuk de Havilland Vampire yang dijual ke AU di berbagai negara. Inggris mentransfer teknologi mesin jet Rolls-Royce Nene ke Soviet, yang kemudian mengaplikasikannya pada pesawat fighter Mikoyan-Gurevich MiG-15 yang mempunyai kecepatan terbang yang semakin mendekati kecepatan suara, dari pada pesawat bersayap lurus seperti F-80. Kecepatan maksimalnya mencapai 1,075 km/jam (668 mpj) terbukti cukup mengejutkan pilot F-80 Amerika yang berhadapan di atas Korea, bersama dengan persenjataannya yang terdiri dari dua kanon 23mm dan sebuah kanon 37 mm tunggal. Meskipun demikian, dogfight jet-melawan-jet pertama dalam sejarah terjadi pada Perang Korea pada 8 November 1950, sebuah F-80 mencegat dua MiG 15 milik Korea Utara di dekat Sungai Yalu dan menembak jatuh mereka.

AS merespon dengan membuat pesawat bersayap tekuk mereka sendiri, F-86, untuk bertempur melawan MiG yang memiliki performa transonik serupa. Kedua pesawat tersebut memiliki kekuatan yang berbeda, tetapi mereka cukup serupa dalam hal teknologi yang superior seperti radar ranging gunsight dan kecakapan pilot veteran.

Dunia AL juga bertransisi ke jet pada periode ini, walaupun diperlukan peluncuram-ketapel untuk pesawat baru. F9F Panther Grumman diadopsi oleh AL AS sebagai jet utama dalam periode Perang Korea, dan pesawat ini merupakan salah satu pesawat pertama yang menggunakan afterburner. de Havilland Sea Vampire adalah pesawat fighter jet pertama AL Royal Inggris. Radar digunakan pada pesawat fighter malam seperti F3D Skyknight yang juga menembak jatuh MiG di atas Korea, dan kemudian dipasangkan ke F2H Banshee, F7U Cutlass bersayap tekuk dan F3H Demon sebagai pesawat fighter semua cuaca/malam.Versi awal Misil Udara-ke-Udara Infra-Merah seperti AIM-9 Sidewinder dan misil berpemandu radar seperti AIM-7 Sparrow yang dikembangkan hingga abad ke-21, pertama kali diperkenalkan pada pesawat fighter AL subsonik Demon dan Cutlass.


Fighter Jet Generasi Kedua (Pertengahan 1950an hingga awal 1960an)

Pengembangan pesawat fighter generasi-kedua terbentuk dengan terobosan teknologi, pelajaran yang didapat dari pertempuran udara pada saat Perang Korea, dan fokus pada penggelaran operasi di lingkungan peperangan nuklir. Perkembangan teknologi di bidang aerodinamis, propulsi dan material aerospace (terutama campuran logam aluminium) membuat desainer dapat bereksperimen dengan inovasi aeronautical, seperti sayap tertekuk, sayap delta dan area-ruled fuselages. Penggunaan mesin turbojet dengan afterburner mulai menyebar luas setelah pesawat produksi pertama yang menggunakan sistem ini melampaui kecepatan suara, dan kemampuannya untuk bertahan dalam kecepatan supersonik menjadi kemampuan umum pada pesawat fighter generasi ini.

Desain fighter juga mendapat keuntungan dari teknologi elektronik baru yang membuat radar efektif cukup kecil untuk dibawa pada pesawat yang lebih kecil. Radar onboard membuat deteksi pesawat musuh dapat dilakukan lebih dari jarak visual, dengan demikian meningkatkan memperingan penanganan target oleh radar peringatan dan pelacak berbasis darat jarak jauh. Demikian halnya, kemajuan pengembangan misil berpemandu membuat misil udara-ke-udara menjadi persenjataan utama bagi fighter untuk pertama kalinya dalam sejarah. Selama periode ini, passive-homing infrared-guided (IR) missiles menjadi misil yang umum dipakai, tetapi sensor pada misil IR pada saat itu masih mempunyai sensitivitas yang buruk dan mempunyai field of view yang sangat sempit (biasanya tidak lebih dari 30°), yang membatasi efektifitasnya sehingga hanya dapat digunakan dalam jarak dekat, tail-chase engagements. Misil berpemandu-radar (RF) juga diperkenalkan, tetapi contoh-contoh awalnya terbukti tidak dapat diandalkan. Misil semi-active radar homing (SARH) ini dapat melacak dan mencekat pesawat musuh yang sudah ditandai dengan radar onboard milik pesawat yang meluncurkan misil. Misil udara-ke-udara RF jarak menengah dan jauh menjanjikan untuk membuka dimensi baru pertempuran "beyond-visual-range" (BVR) combat, dan banyak usaha yang dilakukan dalam rangka untuk pengembangan lebih lanjut teknologi ini. 


Electric Lightning (foto: en.wikipedia.org)

Propek kemungkinan terjadinya PD III yang melibatkan kekuatan mekanis canggih dan persenjataan nuklir sehingga pengembangan pesawat dispesialisasikan pada dua pendekatan desain: interseptor seperti Electric Lightning Inggris dan MiG-21F Soviet; dan fighter-bomber, seperti Republic F-105 Thunderchief dan Sukhoi Su-7B. Dogfighting sendiri semakin tidak diutamakan karena dua hal. Interseptor mengutamakan pada misil berpemandu yang secara total menggantikan senapan dan pertempuran akan terjadi secara jarak jauh, di luar jarak visual. Sebagai hasilnya, interseptor didesain dengan kapasitas misil yang besar dan radar yang powerful, sehingga mengorbankan kelincahan untuk mendapatkan kecepatan pendakian, ketinggian operasional maksimum dan kecepatan maksimum. Dengan peran pertahanan udara utama, prioritas ditempatkan pada kemampuan mencegat bomber strategis yang terbang pada altitude tinggi. Interseptor point-defense terspesialisasi kadang memiliki jarak operasional yang terbatas dan ,jika ada, hanya memiliki kemampuan serang-darat sedikit. Fighter-bomber berpindah peran antara superioritas udara dan serang-darat, yang membutuhkan kecepatan tinggi dan penerbangan altitude rendah untuk menjatuhkan/mengirimkan bom/serangan. Misil udara-ke-permukaan berpemandu televisi dan IR diperkenalkan sebagai tambahan bagi bom gravitasi tradisional, dan beberapa dilengkapi untuk mengirimkan bom nuklir.


Jet Fighter Generasi Ketiga (Awal 1960an hingga sekitar 1970)

Generasi ketiga menjadi saksi bukti inovasi generasi kedua, tetapi kebanyakan ditandai dengan prioritas pada manuverabilitas dan kemampuan serang-darat tradisional. Selama 1960an, peningkatan pengalaman dengan misil berpemandu menunjukkan bahwa pertempuran akan udara akan melibatkan dogfight. Avionik analog mulai diperkenalkan, menggantikan peralatan kokpit “steam-gauge” yang lebih tua. Pengembangan untuk meningkatkan performa aerodinamis fighter generasi kedua termasuk flight control surfaces seperti canard, powered slats, dan blown flap. Sejumlah teknologi dicoba untuk Takeoff dan Pendaratan Vertikal/Pendek, tetapi thrust vectoring baru sukses pada Harrier jump jet.

Pertumbuhan kemampuan pertempuran udara fokus pada pengenalan misil udara-ke-udara, sistem radar dan avionik lain yang lebih baik. Sementara senapan mesin masih menjadi peralatan standar, (model awal F-4 merupakan pengecualiannya), misil udara-ke-udara menjadi senjata utama untuk fighter superioritas udara, yang menggunakan radar yang lebih canggih, AAM RF jarak menengah untuk mendapatkan jarak “stand-off” yang lebih besar. Akan tetapi, kill probability misil RF terbukti rendah karena buruknya kehandalan dan pengembangan electronic countermeasures (ECM) untuk mengecoh penlacak radar. Infrared-homing AAM memperlebar fields of view menjadi 45°, yang memberkuat penggunaan taktisnya. Meskipun demikian rendahnya kil-ratio dogfight fighter AS selama perang Vietnam membuat AL AS mendirikan sekolah senjata fighter ”TOPGUN", yang memberikan kurikulum untuk melatih pilot fighter armada dalam taktik dan teknik Air Combat Maneuvering (ACM) dan Dissimilar Air Combat Training (DACT).

Era ini juga memperlihatkan ekspansi kemampuan serang-darat, terutama pada misil kendali dan menjadi saksi pengenalan avionik yang benar-benar efektif pertana kali untuk meningkatkan performa serang darat, termasuk sistem terrain-avoidance. Misil udara-ke-permukaan (ASM) dilengkapi dengan electro-optical (E-O) contrast seekers – seperti model awal yang secara luas digunakan AGM-65 Maverick – menjadi persenjataan standar, dan bom berpemandu laser (LGB) juga secara luas digunakan dalam usaha meningkatkan kemampuan serang-presisi. Pemandu untuk amunisi semacam precision-guided munition (PGM) disediakan oleh targeting pod yang dipasang secara eksternat, yang mana diperkenalkan pada pertengahan 1960an. 


F-4E Phantom (Foto: en.wikipedia.org)

Hal ini juga memacu pengembangan senjata otomatis baru, terutama chain-gun yang menggunakan mesin elektrik untuk menggerakkan mekanismenya. Senjata otomatis ini membuat senjata multi-laras tunggal (seperti Vulcan 20mm) untuk dibawa dan memberikan kecepatan penembakan dan akurasi yang jauh lebih baik. Reliabilitas powerplant juga meningkat dan mesin jet menjadi tak berasap untuk membuatnya lebih susah untuk dilihat secara visual pada jarak yang jauh. Pesawat yang didedikasikan untuk serang-darat ( seperti Grumman A-6 Intruder, SEPECAT Jaguar dan LTV A-7 Corsair II) menawarkan jarak yang lebih jauh, sistem serang malam yang lebih canggih atau biaya yang lebih rendah jika dibandingkan dengan fighter supersonik. Dengan sayap variable-geometry, pesawat supersonik F-111 memperkenalkan Pratt & Whitney TF30, yang merupakan mesin turbofan pertama yang dilengkapi dengan afterburner. Proyek ambisius ini berusaha membuat fihter serba guna untuk berbagai peran dan tugas. Pesawat semacam ini juga akan berperan baik sebagai bomber semua-cuaca, tetapi mempunyai performa yang tidak cukup baik untuk mengalahkan fighter lain. McDonnell F-4 Phantom didesain sebagai sebuah interseptor semua-cuaca, tetapi menjadi menjadi strike bomber serba guna yang cukup gesit untuk dipakai dalam pertempuran udara. Pesawat ini digunakan oleh AL, AU dan Marinir AS. Walaupun dengan banyaknya kekurangan yang tidak akan ditangani hingga adanya pesawat baru, Phantom mengklaim 280 aerial kill, lebih dari fighter AS lain di atas Vietnam. Dengan jarak dan kapasitas beban yang menyaingi bomber PD II seperti B-24 Liberator, Phantom menjadi pesawat multi peran yang sangat sukses.





Pesawat Jet Fighter Generasi 4.5 (1990 hingga sekarang)


F-18 E sedang mendarat.


Berakhirnya Perang Dingin pada 1991 membuat banyak pemerintahan mengurangi belanja militernya sebagai sebuah “dividen perdamaian”. Iventaris AU dikurangi, serta program riset dan pengembangan yang bertujuan untuk membuat fighter “generasi kelima” menerima pukulan serius; banyak program dibatalkan selama paruh pertama 1990an; program yang terus berlanjut mengalami “pemuluran” waktu. Sementara rendahnya kecepatan pengembangan mengurangi jumlah pengeluaran tahunan. Dalam hal ini, ternyata membuat desainer untuk menggunakan hasil dari perkembangan besar dalam teknologi komputer, avionik dan peralatan elektronik penerbangan lainnya, karena adanya perkembangan pesat microchip dan semikonduktor pada akhir 1980an dan 1990an. Kesempatan ini membuat desainer dapat melakukan pengembangan pada desain generasi keempat –atau desain ulang- yang secara signifikan meningkatkan kemampuan fighter generasi keempat. Desain yang lebih baik ini kemudian dikenal sebagai fighter “generasi 4.5”, yang menandakan desain ini berada di antara kenerasi keempat dan kelima, dan konstribusinya pada pengembangan teknologi pesawat fighter generasi kelima.

Karakteristik utama dari sub generasi ini adalah pemakaian avionik digital canggih dan material aerospace, signature reduction sederhana (terutama RF “stealth”), serta sistem dan persenjataan yang sangat terintegrasi. Pesawat-pesawat fighter ini didesain untuk beroperasi di lingkungan pertemouran “network-sentris” dan pada prinsipnya merupakan pesawat multiperan. Teknologi persenjataan kunci yang diperkenalkan termasuk Misil udara-ke-udara beyond-visual-range (BVR); persenjataan berpemandu Global Positioning System (GPS), radar solid-state phased-array; helmet-mounted sights; dan improved secure, jamming-resistant datalinks. Thrust vectoring untuk meningkatkan lebih lanjut kemampuan manuver sementara juga telah diadopsi oleh banyak pesawat fighter generasi 4.5, dan powerplant yang lebih kuat telah membuat beberapa desain mencapai derajat kemampuan “supercruise”. Karakteristik stealth difokuskan terutama pada aspek-frontal radar cross section (RCS) teknik signature-reduction termasuk penggunaan radar-absorbent materials (RAM), L-O coatings dan limited shaping techniques.

Eurofighter Typhoon

Desain "Half-generation" berdasarkan pada airframe yang sudah ada maupun dari airframe baru yang mengikuti teori desain serupa sebagai iterasi sebelumnya; akan tetapi, modifikasi ini mengenalkan penggunaan struktural dari material komposit untuk mengurangi berat, fraksi bahan bakar yang lebih besar untuk meningkatkan jarak, dan teknik signature reduction untuk mencapai RCS yang lebih rendah dibandingkan dengan pesawat sebelumnya. Contoh utama dari pesawat semacam ini, yang berdasar pada desain airframe baru yang menggunakan penggunaan ekstensif komposit fiber karbon, termasuk Eurofighter Typhoon, Dassault Rafale dan Saab JAS 39 Gripen.

Berbeda dari fighter jet tersebut, kebanyakan fighter generasi 4.5 sebenarnya merupakan varian modifikasi dari airframe yang sudah ada dari fighter jet generasi keempat. Fighter jet semacam ini biasanya lebih berat, contohnya Boeing F/A-18E/F Super Hornet yang merupakan sebuah evolusi dari desain 1970an F/A-18 Hornet, F-15E Strike Eagle yang merupakan varian ground-attack/multi-peran dari F-15 Eagle era Perang Dingin, Sukhoi Su-30MKI dan Sukhoi Su-30MKK yang merupakan pengembangan lanjut dari Su-30 dan MiG-29M, MiG-29K dan MiG-35, yang merupakan versi upgrade dari desain 1980an MiG-29. Su-30MKI dan MiG-35 menggunakan thrust vectoring engine nozzles untuk meningkatkan manuverabilitas. Chengdu J-10B menggunakan sebuah radar Active Electronically Scanned Array (AESA) untuk mengurangi cross section, DSI, IRST dan stabiliser vertikal dipasang di bawah sayap. Rencana upgrade dari JF-17 Thunder juga diharapkan menggunakan sebiah radar AESA dan cross section yang lebih rendah. Kebanyakan pesawat generasi 4.5 telah diretrofit dengan penggunaan radar AESA dan avionik canggih lainnya seperti sistem electronic counter-measure dan forward looking infrared.

MiG-35

Fighter generasi 4.5 pertama kali beroperasi pada awal 1990an, dan kebanyakan dari mereka masih dalam tahap produksi dan pengembangan. Sangat mungkin jika pesawat generasi ini terus diproduksi bersamaan dengan fighter generasi 5 karena mahalnya pengembangan teknologi stealth yang dibutuhkan untuk mencapai desain dengan very low observables (VLO), yang merupakan salah saru fitur utama dari pesawat fighter generasi 5. Dari desain generasi 4.5, hanya Strike Eagle, Super Hornet, Typhoon, dan Rafale yang terlihat dalam aksi pertempuran.

Pemerintah AS mendefinisikan fighter generasi 4.5 sebagai pesawat yang (1) memiliki kemampuan yang lebih baik, termasuk radar AESA, kapasitas datalink besar dan avionik canggih; dan (2) memiliki kemampuan untuk menggunakan persenjataan masa kini dan yang akan datang.



Pesawat Jet Fighter Generasi 5 (2005 hingga sekarang)


Lockheed Martin F-22

Fighter generasi kelima ditandai dengan kemunculan Lockheed Martin/Boeing F-22 Raptor pada akhir 2005. in late 2005. Sebagai “cutting edge” desain fighter saat ini, fighter generasi kelima didesain dari awal untuk beroperasi dalam lingkungan pertempuran network-centric, dan untuk memiliki jejak multi-spektral sangat rendah, dalam semua aspek, dengan menggunakan material dan teknik desain canggih. Mereka memiliki radar AESA multifungsi dengan badwidth-tinggi, kemampuan transmisi data low-probability of intercept (LPI). Sensor cari dan lacak Infra-merah yang digunakan untuk pertempuran udara-ke-udara dan juga untuk penembakan persenjataan udara-ke-permukaan pada fighter generasi 4.5, kini dilebur dengan sensor lain untuk Situational Awareness IRST atau SAIRST, yang secara konstan melacak semua target di sekeliling pesawat sehingga pilot tidak perlu menerka-nerka target di sekelilingnya. Sensor-sensor ini, bersama dengan avionik canggih, kaca kokpit, helmet-mounted sights (tidak ada pada F-22), dan datalink LPI yang ditingkatkan kemanannya dan tahan jamming, sangat diintegrasikan untuk memberikan penggabungan data multi platform-multi sensor untuk meningkatkan situational awarenes dan juga meringankan beban kerja pilot. Avionik-nya menggunakan secara ekstensif teknologi very high-speed integrated circuit (VHSIC), common modules, dan high-speed data buses. Secara keseluruhan, integrasi semua elemen ini diklaim untuk menghasilkan fighter generasi kelima dengan kemampuan "first-look, first-shot, first-kill". 

Radar AESA menawarkan kemampuan unik untuk fighter (dan radar ini juga secara cepat menjadi bagian penting untuk desain pesawat generasi 4.5, serta juga untuk retrofit pesawat generasi keempat). Sebagai tambahan pada kekuatan tingginya terhadap ECM dan fitur LPI, ini juga memungkinkan fighter untuk menfungsikannya sebagai semacam “mini AWACS”, yang menghasilkan high-gain electronic support measures (ESM) dan electronic warfare (EW) jamming functions.

Teknologi lain yang umum pada generasi pesawat terbaru ini termasuk teknologi integrated electronic warfare system (INEWS), teknologi avionik integrated communications, navigation, and identification (CNI), sistem "vehicle health monitoring" tersentralisasi untuk memudahkan perawatan, transmisi data fiber-optik, teknologi stealth dan bahkan kemampuan melayang.

Performa manuver tetap penting dan ditingkatkan dengan thrust-vectoring, yang juga membantu mengurangi jarak lepas landas dan pendaratan. Kemampuan supercruise mungkin ada atau tidak; kemampuan ini mengijinkan penerbangan dengan kecepatan supersonik tanpa penggunaan afterburner, sebuah alat yang meningkatkan jejak IR jika digunakan dalam kekuatan militer penuh.

Atribut kunci fighter generasi kelima adalah very-low-observables stealth. Perhatian besar diberikan dalam desain layout dan struktur internal untuk meminimalkan RCS di atas sebuah broad bandwidth dari frekuensi radar pendeteksi dan pelacak; lebih lanjut, untuk mempertahankan jejak VLO selama operasi pertempuran, persenjataan utama dibawa di dalam weapon bay internal yang hanya akan terbuka ketika peluncuran senjata. Lebih lanjut, teknologi stealth dikembangkan hingga titik dimana teknologi ini digunakan tanpa mengorbankan performa aerodinamika, berbanding terbalik dengan teknologi stealth sebelumnya. Beberapa perhatian juga diberikan untuk mengurangi jejak IR, terutama pada F-22. Informasi detail mengenai teknik pengurangan-jejak ini dirahasiakan, tetapi secara umum termasuk pendekatan shaping khusus, material thermoset dan thermoplastic, penggunaan struktural ekstensif material komposit canggih, sensor konfrontal, heat-resistant coatings, low-observable wire meshes untuk melindungi intake dan cooling vents, heat ablating tiles pada exhaust troughs (terlihat pada Northrop YF-23), dan coating internal and external metal areas dengan radar-absorbent materials and paint (RAM/RAP).


JSF Lockheed Martin F-35 Lightning II

Pesawat semacam ini canggih dan mahal. AU AS awalnya berencana untuk membeli 650 F-22, tetapi saat ini hanya 187 yang akan dibuat. Hasilnya, unit flyaway cost (FAC) berkisar US$150 juta. Untuk meringankan beban pengembangan dan basis produksi, program Joint Strike Fighter (JSF) melibatkan delapan negara lain. Secara keseluruhan sembilan negara rekanan ini berencana untuk memproduksi lebih dari 3,000 Lockheed Martin F-35 Lightning II dengan rata-rata FAC $80–85 juta. F-35, sendiri, didesain sebagai keluarga yang terdiri dari tiga pesawat, conventional take-off and landing (CTOL) fighter, short take-off and vertical landing (STOVL) fighter, dan Catapult Assisted Take Off But Arrested Recovery (CATOBAR) fighter, masih-masing memiliki unit price yang berbeda dan memiliki spesifikasi yang sedikit berbeda dalam hal kapasitas bahan bakar (dan pada akhirnya jarak operasional), ukuran dan payload. 


Sukhoi PAK FA

Negara-negara lain telah mulai proyek pengembangan fighter generasi kelima, dengan Sukhoi PAKFA dan Mikoyan LMFS Rusia. Pada Oktober 2007, Russia dan India menandatangani perjanjian kerjasama dalam Program Fifth-Generation Fighter Aircraft (FGFA), yang akan memberikan India tanggung jawab untuk mengembangkan sebuah model kursi-ganda dari PAK-FA. Pada Desember 2010, diketahui bahwa China sedang mengembangkan fighter generasi kelima Chengdu J-20. J-20 melakukan penerbangan pertamanya pada Januari 2011 dan direncanakan akan mulai beroperasi pada 2017–19. India juga mengembangkan fighter generasi kelima-nya sendiri yang bernama Medium Combat Aircraft. Sementara Jepang sedang mengeksplorasi kemungkinan teknis untuk memproduksi fighter generasi kelima.



Pesawat Jet Fighter Generasi Keenam

Jet Fighter Generasi Keenam adalah sebuah pesawat konseptual yang diharapkan akan mulai dioperasikan oleh AU AS dan AL AS pada 2025-2030. Dengan adanya pengembangan Cengdu J-20 milik China dan Sukhoi PAK FA milik Rusia, kebutuhan untuk fighter generasi keenam mungkin akan menjadi penting untuk militer AS. USAF mencari fighter baru untuk periode 2030–50 dengan nama “Next Generation Tactical Aircraft"/"Next Gen TACAIR". AL AS mencari pengganti F/A-18E/F Super Hornets yang dimulai pada 2025 dengan nama “Fighter superioritas udara Next Generation Air Dominance”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar